Oleh: Zulkarnain el-Madury (Alumni Ummul Quro University, Arab Saudi) Ketika bedah buku Dr Haedar Nashir di di ruang sidang AR. Fakhruddin, Unmuh Yogyakarta, istilah "Islam Syariat" muncul dalam uraian Pak Syafii Maarif. Maksudnya membedakan Muhammadiyah dengan Gerakan gerakan ekstrim kanan yang meyakini, "Islam adalah solusi". Akhirnya hal itu membuat saya teringat sejarah hidup ketika muda, saat
saat dibesarkan dilingkungan Nahdlatul
ulama. Dulu ketika masih di NU kalau menstigma gerakan Muhammadiyah itu dengan
sebutan wahabi, kamandiyah, dan ada label “Islam Syariat”. Ya seperti itulah
ingatan masa lalu saya,. Tetapi saya heran, saat pak Syafii ma’arif melontarkan
kembali istilah “Islam Syariat”, padahal konotasi Islam syariat itu biasa
digunakan NU menstigma gerakan Muhammadiyah diawalnya. Karena dalam pandangan
kyai NU (terutama penganut tarekat), Islam itu dibagi Empat maqam/level: 1.
Islam Syariat, 2. Islam Thoriqah, 3. Islam haqiqat, 4. Islam ma’rifat
Begitulah pembagian Islam model kalangan
NU, terutama bisa dijumpai dalam Tarekat Sufi. Tarekat sufi tergolong paling
primordial dan tertutup. Keempat maqam tadi menjadi landasan utama dengan dogma
di kalangan mursyid. Bila benar buya Syafii menyebut adanya Islam syariat
sebagaimana hal itu dijadikan judul bukunya Dr Haedar nashir, mungkinkah bapak
yang terperosok pada dogma Tarekat sufi?
Saya berpandangan kelompok ekstrim kanan
yang bapak khawatirkan sebenarnya punya misi dakwah yang sama dengan
Muhammadiyah. Mereka juga melakukan pemurnian aqidah sekaligus melakukan
perbaikan di bidang pendidikan dan sosial. Toh ujung-ujungnya bermuara pada
demi terbentuknya “Masyarakat Islam”, seperti yang dicita-citakan oleh
Muhammadiyah.
(selesai tulisan Zulkarnain el-Madury)
***
Demikian komentar yang ditujukan kepada
Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif setelah mengikuti acara diskusi buku Islam
Syariat “ Reproduksi Ideologi Salafiyah di Indonesia” karya Dr. Haedar Nashir,
yang bertempat di ruang sidang AR. Fakhruddin A lantai 5, kampus terpadu
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Kamis (25/7 2013 ).
***
Inilah pendapat Dr. Haedar Nashir
Sementara itu umy.ac.id memberitakan, Dr. Haedar Nashir menyatakan
bahwa buku yang ia tulis ini melihat penegakan Islam sesuai syariat dengan
perspektif sosial. “Tidak bermaksud untuk mengevaluasi, namun hanya untuk
memetakan pergerakan Islam. Buku ini juga berusaha menggambarkan upaya
penegakan syariat Islam di lembaga pemerintahan,” terangnya.
Haedar mengatakan, munculnya gerakan
Islam Syariat di Indonesia merupakan bentuk Islamisasi baru yang berbeda dari
arus utama seperti NU dan Muhammadiyah. Kultur dakwah yang lebih lentur dan
lembut, diganti menjadi sangat kaku dan ideologis. “Konstruksi dari Islam
syariat hanya mengambil 10 persen dari kandungan ayat Al-Quran. Namun 10 persen
ini yang menjadi sangat mengatur kehidupan masyarakatnya,” paparnya.
Kehadiran gerakan Islam syariat dengan
karakter dan orientasi yang bercorak ‘Salafiyah Ideologis’ tersebut merupakan
tantangan bagi kelompok gerakan Islam moderat (arus tengah). “Ia juga merupakan
tantangan bagi kelompok-kelompok masyarakat lain dalam membangun
keseimbangan-keseimbangan baru di tengah kecenderungan yang serba ekstrem, baik
dalam kehidupan keagamaan maupun kebangsaan,” tutur penulis yang juga menjabat
sebagai Ketua PP Muhammadiyah ini lagi./ .umy.ac.id
Aroma liberal Haedar Nashir tampaknya
diluapkan, hanya tinggal satu strip lagi untuk berteriak bahwa yang menjalankan
Islam sesuai ayat 85 Surat Ali ‘Imran itu adalah musuh bersama. Ujung dari
faham liberal dengan aneka variasi namanya adalah itu, hanya saja kini baru
sampai pada tahap apa yang disebut multikulturalisme. Itu semua adalah ajaran
kemusyrikan baru.
0 Response to " Menyoal Istilah “Islam Syariat” yang Dimunculkan Syafii Maarif dan Haedar Nashir - obs"
Posting Komentar